BAB I
PENDAHULUAN
- A. Latar Belakang Masalah
Upaya
penelusuran hadis dan ahli hadis di Indonesia belum dilakukan secara
sistematis, bahkan belum memadai. Hal ini bisa diduga disebabkan oleh beberapa
hal. Pertama, kenyataan bahwa kajian hadis terlebih lagi ahli hadisnya tidak
seintens kajian di keislaman yang lain, seperti al-Qur’an, fiqh, akhlak dan
sebagainya. Kedua, kajian hadis bisa dikatakan berkembang sangat lambat,
terutama bila dilihat dari kenyataan bahwa para ulama Nusantara telah menulis
di bidang hadis sejak abad ke-17. Namun demikian, seperti terlihat
kemudian, tulisan-tulisan tersebut tidak dikembangkan lebih jauh. Kajian hadis setelah
itu mengalami kemandekan hampir satu setengah abad lamanya. Untuk itulah,
perhatian para pengamat terhadap kajian hadis di Indonesia masih sangat kurang.
Kalaupun ada pengamat yang menaruh perhatian, perhatiannya masih parsial dan
tidak komprehensif.
Seluruh
karya yang ditulis oleh para ahli hadis atau bisa dikatakan pemerhati
hadis di Nusantara, dari awal sampai sekarang, baik yang bersifat utuh maupun
yang berupa makalah-makalah yang sudah diterbitkan dan terjemahan- terjemahan,
memperlihatkan secara jelas latar belakang keilmuan pakar hadis di Indonesia.
Karya-karya mereka masih lebih banyak yang tidak orisinil, itu dapat dilihat
dari kurangnya naskah asli berbahasa arab dan juga ada beberapa karya yang
bersifat saduran terhadap karya asli.[1]
Penyusunan
karya-karya hadis mereka kebanyakan hanya dilatar belakangi oleh keperluan
akademis ketimbang memberikan informasi yang utuh tentang Ulum al-hadis hal
ini menyebabkan sedikitnya spesialis di bidang hadis. Meskipun demikian,
beberapa ahli hadis Indonesia telah menaruh perhatian besar terhadap
perkembangan hadis walaupun pada dasarnya mereka memiliki disiplin ilmu yang
berbeda. Oleh karena itu makalah ini pembahasan makalah ini lebih terfokus pada
ahli hadis, ragam keilmuan serta kecenderungannya.
- B. Rumusan Masalah
Berdasar
dari uraian latar belakang diatas, maka kami merumuskan permasalahan sebagai
berikut:
- Bagaimana perkembangan hadis di Indonesia ?
- Bagaimana ragam keilmuan ahli hadis di Indonesia ?
BAB II
PEMBAHASAN
- A. Hadis di Indonesia dan Ahli Hadis
Kajian
hadis di Indonesia dapat ditemukan sejak abad ke-17 dengan ditulisnya
kitab-kitab hadis oleh Nur al-Din al-Raniri dan ‘Abd al-Rauf al-Sinkili.
Al-Raniri mengumpulkan -dalam karyanya Hidayat al-Habib fi al-Targib wa
al-Tarhib– sejumlah hadis yang diterjemahkannya dari Bahasa Arab ke Bahasa
Melayu. Dalam karyanya ini, ia memadukan hadis-hadis dengan ayat-ayat al-Qur’an
untuk mendukung argumen-argumen yang melekat pada hadis. Selanjutnya,
Al-Sinkili menulis dua karya tentang hadis, yaitu penafsiran terhadap Hadis
Arba‘in karya al-Nawawi dan koleksi hadis- hadis qudsi yang diberi judul Al-Mawa‘iza
al-Badi‘ah. Al-Sinkili juga menjadikan Syarh Kitab Muslim karya
al-Nawawi sebagai salah satu rujukan penting dalam menyusun kitab fikih yang
berjudul Mir’at al-Tullab.[2]
Karya
dua ulama di atas lebih diarahkan kepada pembinaan praktek keagamaan, terutama
fiqih dan akhlak daripada kepada penelitian keotentikan nilai hadis-hadis yang
digunakan. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa itu kajian ‘ilm musthalah
al-hadis belum mendapatkan perhatian yang besar dari ulama Indonesia. Lebih
jauh, seperti dituturkan oleh Howard M. Federspiel, pembicaraan tentang hadis
pada masa-masa Belanda berkuasa, masih sebagai bagian pembicaraan tentang
fiqih, bukan bidang yang berdiri sendiri.
Hadis
sebagai sumber ajaran Islam, yang telah melalui proses yang cukup panjang
dengan metode periwayatan yang berbeda-beda hingga tertulis dalam kitab-kitab
Hadis, sudah cukup menjadi acuan pentingnya pemeriksaan sanad dan matan-nya.
Para ulama muhadditsin telah menyusun berbagai kaedah yang berkenaan
dengan pemeriksaan terhadap sanad dan matan Hadis, untuk
mengetahui mana Hadis yang maqbul (yang dapat diterima) dan mana Hadis
yang mardud (yang tidak dapat diterima)
Sementara
itu, para ulama di Nusantara khususnya di Indonesia, mulanya hanya membaca dan
mengajarkan kitab-kitab Hadis seperti Bulug al-Maram karya Ibn Hajar
al-‘Asqalaniy, Matn al-Arba‘în karya al-Nawawiy, dan Matn
al-Bayquniyah karya al-Suyuthiy serta kitab-kitab fiqh klasik khususnya
dalam mazhab al-Syafi‘iy, tanpa mengadakan pengkajian dan pemeriksaan terhadap
kesahihan sanad dan matan-nya. Mereka beranggapan bahwa hasil
ijtihad para ulama terdahulu sudah final, hingga ulama-ulama sekarang tidak
perlu mengkaji dan memeriksa sahih tidaknya suatu Hadis.[3]
Anggapan
tersebut terus bergulir hingga salah seorang sahabat dan murid Muhammad Rasyid
Ridha yaitu Muhammad Thaher ibn Muhammad Jalal al-Din al-Azhariy kembali ke
Indonesia, yang kemudian menerbitkan majalah “al-Imam”, yang menjadi titik awal
dari sebuah pemikiran yang berpengaruh pada pengkajian terhadap Hadis di
Nusantara. Dapat dilihat ketika Muhammad Thaher menjawab sebuah pertanyaan
berkaitan dengan Hadis mi‘raj yang menyebutkan bahwa langit keempat terdiri
dari tembaga, langit ketiga terdiri dari besi, langit kedua dari batu, serta
langit pertama terdiri dari emas. Ia mengemukakan: “Ketahuilah kiranya,
sesungguhnya tiada sah satu Hadis pun pada menentukan jenis tujuh petala langit
dan tiada pula menentukan beberapa tebalnya. Dan kebanyakan rampaian-rampaian
itu, yang dibaca oleh tukang-tukang cerita di dalam cerita mi‘râj itu adalah
bohong yang nyata. Walhasil, tiadalah wajib mengi‘tiqadkan sesuatu melainkan
dengan dalil akal yang putus, yang tiada didatangi oleh syubhat, atau dengan
dalil sam‘iy (yang didengar) nyata daripada Nabi Salallahu ‘alaihi wa
sallam. sendiri”.
Pernyataan
“tiada sah satu Hadis pun”, memberi kesan adanya pengkajian dan pemeriksaan
terhadap kesahihan hadis-hadis tentang masalah itu, yang boleh jadi merupakan
sebuah “kesepakatan” Muhammad Thaher atas penelitian ulama sebelumnya, dan atau
merupakan hasil dari sebuah pemeriksaan yang dilakukannya sendiri dengan
menerapkan kaedah-kaedah kesahihan Hadis.
Majalah
“al-Imam” terbit pertama kali pada tahun 1906 M. hingga awal tahun 1909 M.,
lalu kemudian dilanjutkan oleh murid Muhammad Taher yaitu Abdul Karim Amrullah
dengan menerbitkan majalah “al-Munir” di Padang pada tahun 1911 M. hingga 1915
M.. Dalam majalah ini, menurut Hamka, terdapat pula banyak kajian kritis
terhadap Hadis yang dilakukan oleh Ayahnya.
Dari
Pulau Jawa, muncul pula pengkajian terhadap Hadis yang dipelopori oleh Ahmad
al-Syurkatiy, dengan bukunya yang terkenal, al-Kafa’ah yang terkait
dengan Hadis-hadis persamaan derajat antara sayyid dan non-sayyid yang antara
satu sama lain boleh menikah.[4]
Pada
tahun 1929 M. muncul pula majalah “Pembela Islam” di Bandung yang
dipimpin oleh A. Hassan,[5] yang sempat membangkitkan suasana
pemeriksaan dan pengkajian terhadap Hadis di Nusantara pada masanya, bahkan
pengaruhnya hingga saat ini masih dapat dirasakan. Syafiq A. Mughni menyatakan
bahwa dalam fase pergolakan antara pro dan kontra-mazhab itu, A. Hassan tampil
memainkan peran yang sebaik-baiknya. Kebebasan untuk memahami ajaran agama
tanpa terikat oleh suatu mazhab seperti yang ditekankan oleh A. Hassan
diharapkan mengurangi satu di antara sekian banyak kendala bagi kemajuan ummat
akibat belenggu taklid-mazhab yang telah menjadi tradisi sejak berabad-abad
yang lampau. Ajakan A. Hassan untuk merujuk langsung terhadap al-Qur’an dan
al-Sunnah mengantarkan usaha untuk meminati ilmu-ilmu alat yang terkait dengan
kedua sumber ajaran Islam tersebut, khususnya Ilmu Hadis dan Ushul Fiqh, yang
pada masa itu masih bersifat “elitis”, dengan kata lain, A. Hassan telah
memberikan dorongan bagi kebebasan dan pendalaman studi Islam.[6]
- B. Ragam Keilmuan Ahli Hadis di Indonesia
Jika
melihat para ahli hadis di Indonesia sejak abad ke-17 dan abad ke-18 maka dapat
dipastikan bahwa keilmuan mereka tidak lepas dari pengaruh pendidikan Islam
yang ada di Timur tengah.[7] Oleh karena itu, ragam
keilmuannyapun tidak jauh berbeda dengan ragam keilmuan yang ada di sana.
Perkembangan selanjutnya ialah sejak pertengahan abad ke-19, banyak sekali
anak-anak muda dari jawa yang menetap beberapa tahun di Makkah dan Madinah
untuk memperdalam pengetahuan mereka bahkan banyak di antara mereka menjadi
ulama yang terkenal dan mengajar di Makkah atau Madinah. Karena para ulama dari
Jawa ini turut aktif dalam alam intelektualisme dan spiritualisme Islam yang
berpusat di Makkah, mereka juga mempengaruhi perubahan watak Islam di
Nusantara. Semakin kuatnya keterlibatan mereka dalam kehidupan intelektual dan
spiritual Timur Tengah, Islam di Nusantara dan semakin jelas di Jawa
menyebabkan hilangnya sifat-siat lokal dan titik beratnya pada aspek tarekat
semakin berkurang.
Dalam
penelitian Martin, dijelaskan bahwa perhatian ulama Indonesia pada pelajaran Hadis
dan Ulum al-Hadis sama sekali baru. Wajar bila sedikit sekali karya ulum
al-Hadis yang dihasilkan dari ulama Indonesia. Akan tetapi berdasarkan
penelitian Daud Rasyid Harun ditemukan bahwa perhatian ulama Indonesia untuk
belajar telah ada sejak abad ke-17 M. bahkan diantara mereka ditemukan memiliki
jalur sanad yang sampai pada Rasulullah.[8] Namun untuk melacak para ahli hadis
tersebut dan karya-karya mereka sangat sulit, sehingga penulis mencoba
menjelaskan hanya pada abad ke-19 hingga sekarang.
A.
Hassan (l. 1887 M.) mendalami tafsir, fiqh, fara‘id, manthiq, dan ilmu-ilmu
lainnya secara otodidak.[9] Muhammad Mahfudz (w. 1919 M.)
menguasai berbagai disiplin ilmu yang juga merupakan ulama Indonesia pertama
yang mengajarkan kita hadis Shahih Bukhari.[10] Dikatakan juga bahwa beliau menulis
berbagai karya dalam berbagai disiplin ilmu, beliau lebih terkenal sebagai
pakar dalam bidang hadits, baik Dirayah Hadits, Mushthalah Hadits maupun Rijal
Hadits dan lain-lain.[11]
Tidak
jauh berbeda dengan Muhammad Mahfudz, Mahmud Yunus juga menguasai beberapa
disiplin ilmu, khususnya bahasa arab dan Tafsir. Hasbi al-Shiddiqi pun telah
mengarang dalam berbagai disiplin ilmu, mulai dari tafsir, hadis, fiqhi dan
ushul. Namun dalam sejarah intelektual Indonesia kedua tokoh diatas lebih
terkenal dalam bidang tafsir, meskipun tidak dinafikan bahwa mereka juga banyak
menguasai ilmu hadits. Sedangkan Muhammad Syuhudi Ismail lebih fokus untuk
mendalami hadis–secara umum konsentrasi beliau dalam bidang hadits boleh dikata
otodidak, karena pada awalnya beliau hanya memenuhi tugas akademik–baik ulum
al-Hadis maupun matan hadis sendiri. Fatchur Rahman lebih mirip dengan Syuhudi
Ismail yakni lebih konsentrasi pada hadis saja. Karyanya yang berjudul Ikhtisar
Musthalah al-Hadits menggambarkan kecenderungannya mendalami ilmu hadits.
Begitupun yang dilakukan oleh Utang Ranuwijaya.
Berdasarkan
sampel di atas, dapat disimpulkan bahwa ragam keilmuan ahli hadis di Indonesia
tidak semuanya fokus dan mendalami satu ilmu saja, akan tetapi mereka mendalami
berbagai disiplin ilmu, khususnya para ahli hadis awal abad 20. Sementara ahli
hadis yang muncul setelah pertengahan abad ke-20 mulai konsentrasi pada hadis
wa ulumuh yang diawali oleh Syuhudi Ismail. Sebagaimana yang telah
disebutkan diatas, keberagaman latar belakang keilmuan tidak bisa lepas dari
beberapa faktor. Diantaranya adalah latar belakang pendidikan, keluarga, corak
pemikiran, maupun faktor lingkungan. Jika dianalisa, karya-karya hadis yang
muncul sifatnya hanya sebagai pengantar. Hal tersebut tidak lain dilakukan
karena kebutuhan masyarakat masih sangat minim dalam merespon kajian hadits.
Dimana bangsa Indonesia masih terus bergelut dalam hal aplikatif dibanding
teori, sehingga tidak mengherankan jika pengajaran hadits masih bercampur
dengan ilmu-ilmu yang lain. Dan memang pada dasarnya ulama-ulama banyak
menguasai disiplin ilmu sehingga mereka banyak memberikan kontribusi bagi
perkembangan pemikiran.
BAB III
PENUTUP
- A. Kesimpulan
- Perkembangan hadits di Indonesia dari masa ke masa mengalami banyak perkembangan. Sebelum abad XVII pembelajaran hadits masih bercampur dengan ilmu-ilmu lain dan lebih bersifat aplikatif dibanding teori. Hingga abad XX, kajian hadis masih sekedar pengantar, hal itu terlihat pada beberapa karya muhaddits yang masih banyak mengemukakan sejarah dibanding kajian analitis. Namun, akhir abad XX kajian hadits lebih dikembangkan lagi pada aspek kajian analitis dan untuk memenuhuhi kebutuhan akademis.
- Pemikiran ulama Nusantara tidak jauh berbeda dengan pemikiran yang ada di Timur Tengah. Hal ini disebabkan banyaknya ulama yang menutut ilmu di Mekah dan Madinah kemudian membawa dan menerapkan ilmunya di Indonesia. Secara umum para ahli hadis Indonesia ahli pada beberapa disiplin ilmu, tidak hanya terfokus pada bidang hadis saja tetapi mereka juga banyak menguasai bahasa Arab, fiqh, tafsir dan sebagainya. Sehingga dapat dikatakan bahwa mereka ahli pada beberapa bidang ilmu. Ulama hadits seperti Kiayi Mahfudz al-Tirmadzi sangat ahli di bidang fiqh, tafsir dan hadits. Demikian pula Mahmud Yunus yang juga menguasai bahasa Arab dan tafsir. Hasbi al-Shiddieqy lebih terkenal dalam bidang tafsir maupun hadits serta beberapa ahli hadits lainnya. Perbedaan keilmuan mereka tentu saja dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah latar belakang keluarga, pendidikan, dan utamanya faktor lingkungan.
B. Saran-Saran
- Diharapkan bagi dosen untuk memberikan daftar literatur sesuai pembahasan yang diberikan kepada setiap kelompok, mengigat kami sangat awam dengan berbagai literatur yang ada sehingga dalam penulisan kami banyak mengalami banyak kendala.
- Kami sadari ada banyak kekurangan dalam karya tulis ini maka diharapkan bagi teman-teman untuk mengkaji beberapa literatur lebih lanjut mengenai pembahasan ini.
- Kami mengharapkan kritik dan saran dari teman-teman demi sempurnanya makalah ini karena kesempurnaan hanya milik Allah, kita sebagai makhluk hanya bisa ikhtiar dan tawakkal.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Wahid Ramli. “Perkembangan Kajian Hadis di Indonesia: Studi Tokoh dan Ormas
Islam”, Conference Paper, Makassar: Postgraduate Program State Islamic
Universities, 2005 M.
Affandi,
Bisri. Syaikh Ahmad Syurkati, Pembaharu dan Pemurni Islam di Indonesia,
(Cet.
I; Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999 M).
Azra,
Azyumardi .Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad ke-XVII
dan XVIII, Bandung: Mizan, Cet. I, 1994.
Dede
Rudliyana, Muhammad Perkembangan Pemikiran Ulum al-Hadis dari Klasik Sampai
Modern, (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2004).
Federspiel,
Howard M, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia,
diterjemahkan oleh Yudian W. Asmin dan Afandi Mochtar dengan judul Persatuan
Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX, Cet. I; Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1996 M.
Mughni,
Syafiq A, Nilai-nilai Islam: Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi,(Cet.
I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2001.
Mughni,
Syafiq A. Hassan Bandung: Pemikir Islam Radikal, Cet. II;
Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1994.
http:/www.galileo/jurnalonline.com
[1] Muhammad Dede Rudliyana, Perkembangan
Pemikiran Ulum al-Hadis dari Klasik Sampai Modern, (Bandung: Pustaka Setia,
Cet. I, 2004) hal 147.
[2] Dikutip dari artikel internet,
http:/www.galileo/jurnalonline.com
[3] Ramli Abdul Wahid, “Perkembangan
Kajian Hadis di Indonesia: Studi Tokoh dan Ormas Islam”, Conference Paper,
(Makassar: Postgraduate Program State Islamic Universities, 2005 M.), h. 1
[4] Bisri Affandi, Syaikh Ahmad
Syurkati (1874-1943): Pembaharu dan Pemurni Islam di Indonesia, (Cet. I;
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999 M.)
[5] Howard M. Federspiel, Persatuan
Islam: Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia, diterjemahkan oleh
Yudian W. Asmin dan Afandi Mochtar dengan judul Persatuan Islam: Pembaharuan
Islam Indonesia Abad XX, (Cet. I; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1996 M.), h. 25
[6] Syafiq A. Mughni, Nilai-nilai
Islam: Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi, (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001 M.), h. 139
[7] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama
Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad ke-XVII dan XVIII, (Bandung:
Mizan, Cet. I, 1994) hal. 15
[8] Muhammad Dede Rudliyana, Op.
Cit. hal. 135
[9] A. Hassan lahir pada tahun 1887 M.
di Singapura. Ayahnya bernama Ahmad Sinna Vappu Maricar yang digelari “Pandit“
berasal dari India dan ibunya bernama Muznah berasal dari Palekat, Madras. A.
Hassan belajar al-Qur’an pada umur sekitar tujuh tahun, kemudian masuk di
Sekolah Melayu. Ayahnya sangat menekankan agar Hassan mendalami bahasa Arab,
Inggris, Melayu dan Tamil di samping pelajaran-pelajaran lain. Syafiq A.
Mughni, Hassan Bandung: Pemikir Islam Radikal, (Cet. II; Surabaya: PT. Bina
Ilmu, 1994 M), h. 13
[10] Syaikh Muhammad Mahfuz bin Abdullah
bin Abdul Mannan bin Abdullah bin Ahmad at-Tarmasi/Termas merupakan salah satu
ulama’ Indonesia yang banyak menghasilkan karya dalam berbagai disiplin ilmu.
Syaikh Muhammad Mahfuz Termas lahir di Termas, Pacitan, Jawa Tengah, pada 12
Jumadil Ula 1285 H/31 Agustus 1868 M, dan bermukim di Mekah sampai beliau wafat
pada 1 Rajab 1338 H/ 20 Mei 1920 M.
titanium fidget spinner
BalasHapusA titanium ring solid graphite titanium babyliss pro razor is a non-adjustable 1xbet 먹튀 non-adjustable razor, titanium cookware which is effectively a “adjustable non-adjustable” razor, or a titanium cost “unadjustable non-adjustable” razor,