PENDAHULUAN
Hadits sebagai
sumber ajaran islam yang kedua setelah al-Quran, diakui oleh hampir
seluruh umat islam, hanya kelompok kecil umat islam yang menolak hadits sebagai
sumber ajaran islam yang dikenal dengan ingkar al-sunnah. Tidak diragukan lagi
bahwa sunnah Rasulullah S.A.W. menempati posisi yang tinggi dalam agama islam,
oleh karena selain sunnah merupakan sumber ketetapan hukum yang kedua setelah
al-Quran. Sunnah juga merupakan sebuah pengetahuan baik keagamaan atau ma’rifah
diniyah, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan alam gaib yang sumber satu-satunya
adalah wahyu, seperti yang berkaitan dengan Allah, malaikat, kitab-kitab
Allah,
rasul-rasul Allah, syurga dan neraka, hari kiamat dan tanda-tandanya,
kejadian-kejadian diakhir zaman, ataupun pengetahuan yang berkaitan dengan
aspek kemanusiaan, seperti yang berkaitan dengan pendidikan, kesehatan dan
perekonomian.
Umat Islam
mengalami kemajuan pada zaman klasik (650-1250 M.). Dalam sejarah, puncak
kemajuan ini terjadi pada sekitar tahun 650-1000 M. Pada masa ini telah hidup
ulama besar, yang tidak sedikit jumlahnya, baik di bidang tafsir, hadits,
fiqih, ilmu kalam, filsafat, tasawuf, sejarah maupun bidang pengetahuan
lainnya. Dalam proses perkembangannya ilmu hadits mengalami beberapa kemajuan
dalam tingkat kualitasnya, hal ini didukung karena adanya perkembangan
pemikiran yang lahir dari para pemikir-pemikir modern yang berkecimpung dalam
dunia penelitian hadits. Oleh karenanya banyak sudah kitab-kitab khusus yang
membahas tentang hadits-hadits. Baik dari segi pembagiannya ataupun ilmu-ilmu
yang mendukung adanya pembukuan hadits. Dan juga dalam perkembangananya hadits
juga membutuhkan berbagai ilmu yang membahas tentang bagaimana caranya memahami
hadits. Dalam hal ini penulis bermaksud menguraikan seputar masalah ilmu hadits
yang berkaitan dengan matan.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Matan
Matan menurut bahasa berarti tanah
yang muncul dan naik ke permukaan. Sedangkan menurut istilah matan adalah suatu
kalimat tempat berakhirnya sanad.[1]
Menurut Ajjaj Al khatib matan adalah
lafal hadits yang didalamnya mengandung makna-makna tertentu. Dan menurut ath
Thibbi matan hadits adalah lafal hadits yang dengan itu terbentuk makna. [2]
Misal sanad dan matan dalam sebuah
hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, yang berbunyi:
حدّثنا
محمّد بن المثنى قال: حدّثنا عبد الوهَاب االثّقفى قال: حدّثنا ايّوب عن ابى قلابة
عن انس النبى صلعم: ثلاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ
وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أحَبَّ
إِلَيْهِ مِمَّا سَوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إلاَّ لِلهِ،
وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ،
كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّار. رواه البخاري
“Tiga sifat yang jika ada pada diri seseorang, ia akan meraih manisnya
iman: (1)
Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya. (2)
Ia mencintai seseorang, tidaklah mencintainya melainkan karena Allah. (3) Ia
membenci untuk kembali kepada kekafiran -setelah
Allah menyelamatkannya darinya- sebagaimana ia benci apabila dilempar ke dalam
api.”
Dari
hadits di atas dapat kita ketahui
1.
Sanad-sanad
hadits tersebut :
a.
Muhammad
ibnu mutsanna
b.
Abdul
wahhab ats Tsaqafi
c.
Ayyub
d.
Abi
qilabah
e.
Annas
Ra, hingga sampai Nabi Saw.
2.
Matan
hadits dari hadits di atas ialah dimulai dari kata Tsalasun sampai an
yuqdzafa fi annar.
B.
ILMU ASBAB AL-WURUD AL-HADITS
Kata asbab adalah bentuk jamak dari sabab. Menurut ahli bahasa asbab
diartikan dengan al-habl(tali), yang menurut lisan Al-Arab berarti salura, yang
artinya adalah “Segala sesuatu yang menghubungkan benda dengan benda lainnya”.
Menurut istilah adalah segala sesuatu yang mengantar pada tujuan. Ada juga yang
mendefinisikan dengan “Jalan menuju terbentuknya suatu hukum tanpa adanya
pengaruh apapun dalam hukum itu”.
Kata wurud(sampai,muncul) berarti “Air yang memancar atau yang mengalir”.
Dalam pengertian yang lebih luas As-Suyuti merupakan pengertian asbab al-wurud
al-hadits dengan “Sesuatu yang membatasi arti suatu hadits, baik berkaitan
dengan arti umum atau khusus, mutlaq atau muqqayyat, dinasakhkan, dan
seterusnya atau suatu arti yang dimaksud oleh sebuah hadits saat
kemunculannya”.[3]
Dari pengertian diatas , dapat dibawa pada pengertian ilmu Asbaab
Al-wurut Al-Hadits, yakni suatu ilmu yang membicarakan sebab-sebab Nabi
Muhammad SAW. menuturkan sabdanya dan saat beliau menuturkannya, seperti sabda
Rasulullah SAW. Tentang suci dan menyucikan air laut, yaitu “Laut itu suci
airnya dan halal bangkainya”. Hadits ini dituturkan oleh Rasulullah SAW. ketika
seorang sahabat yang sedang berada ditengah laut mendapatkan kesulitan untuk
berwudlu’. Contoh lain adalah hadits tentang niat yang dituturkan berkenaan
dengan peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW. Ke Madinah. Salah seorang yang ikut
hijrah karena ingin menikahi wanita yang bernama Ummu Qais.
Urgensi asbab wurud terhadap hadits sebagai salah satu jalan untuk
memahami kandungan hadits, sama halnya dengan urgensi asbab nuzul Al-Quran
terhadap Al-Quran. Ini terlihat dari beberapa faedahnya, antara lain dapat
mentaksis arti yang umum, membatasi arti yang mutlaq, menunjukkan perincian
terhadap yang mujmal,menjelaskan kemusykilan, dan menunjukkan illat suatu
hukum.
Maka dengan memahami ilmu Asbab Wurud Al-Hadits ini, makna yang dimaksud
atau dikandung oleh suatu hadits dapat dipahami dengan mudah. Namun demikian,
tidak semua hadits mempunyai asbab al-wurud, seperti halnya tidak semua ayat
Al-Quran memiliki asbab an-nuzulnya.
Peristiwa yang melatarbelakangi munculnya hadits ada 2. Yaitu:
1.
Asbab Wurud Al-khas, yaitu
peristiwa yang terjadi menjelang turunnya suatu hadits.
2.
Asbab Wurud Al’Am, yaitu
semua peristiwa yang dapat dicakup hukum atau kandungannnya oleh hadis, baik
peristiwa itu terjadi sebelum maupun sesudah turunnya ayat itu. Pengertian yang
kedua ini dapat diperluas sehingga mencangkup kondisi sosial pada masa turunnya
hadis (setting social).
Adapaun patokan kaidah yang dipakai oleh para mayoritas ulama dalam asbab
wurud adalah ;
1.
Al-‘Ibrah bi ‘umum al-lafdzi la
bi khusus al-sababi (yang menjadi patokan dalam memahami teks adalah
keumuman lafad, bukan sebab khususnya).
Adapun contohnya yaitu Hadis tentang mandi jum’at yang berbunyi:
حَدَثَنَا عَبْدُ اْللَّه بْنِ
يُوْسُفْ قَالَ : أَخْبَرَنَا مَالِكُ, عَنْ نَافِعِ عَنْ عَبْدِ اْللَّهِ بْنِ
عُمَرْ رَضِيَ اْللَّهُ عَنْهُمَا : أَنَّ رَسُولَ اْللَّهِ صَلَّي اْللَّهُ
عَلَيْه وَسَلَّمَ قَالَ : إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ اَلجُمْعَةَ فَلْيَغْتَسِلْ. (روه
البخاري)
Sesungguhnya rasulallah SAW bersabda : “jika seseorang diantara kamu
mendatangi shalat jum’at, maka hendaklah ia mandi” (H.R. Bukhari.)
Dalam memahami hadis diatas maka
kita lihat dulu asbabul wurudnya. Pada jaman nabi SAW, ekonomi para sahabat
pada umumnya masih dalam keada’an sulit. Mereka memakai baju wol dan bekerja
diperkebunan kurma, memikul air diatas punggung mereka untuk melakukan
penyiraman. Setelah bekerja diperkebunan, banyak diantara mereka yang langsung
pergi ke masjid untuk melakukan shalat jum’at. Pada hari itu udara sangat panas
dan nabi menyempatkan khutbah jum’at diatas mimbar yang pendek, kemudian mereka
berkeringat dalam keadaan pakai pakaian wol. Bau keringat dan baju wol mereka
menyebar diruangan masjid dan jama’ah merasa terganggu. Bahkan bau mereka
juga sampai menyebar kemimbar rasulallah SAW, dan kemudian nabi bersabda : “Wahai
kalian manusia, jika kalian melaksanakan shalat jum’at ,hendaklah mandi
terlebih dahulu dan pakai minyak wangi terbaik yang ada padanya”
Jumhurul ulama mengatakan bahwa
kewajiban mandi pada hari jum’at disebabkan oleh banyak faktor, antara lain
cuaca panas yang menyebabkan berkeringat, pakaian wol yang menyimpan bau, kondisi
masjid yang sempit dan lain-lain. Jika jama’ah tidak mandi maka akan
menimbulkan gangguan dan mengurangi ketenangan didalam masjid. Hadis itu
berlaku dan wajib dilaksanakan dalam kondisi demikian.
Ketika keadaan umat islam sudah
makmur, masjid-masjid sudah luas dan pakaian mereka terbuat dari kain, maka ada
kelonggaran dan kemurahan untuk tidak mandi ketika hendak pergi keshalat
jum’at. Sebab hal itu tidak akan menimbulkan adanya gangguan pada jama’ah. Jika
diamati ,maka kelihatan jelas pendapat jumhurul ulama diatas dalam memahami
hadis dengan kaidah : Al-‘Ibrah bi ‘umum al-lafdzi la bi khusus al-sababi hadis
nabi SAW yang menyatakan “siapa saja yang mendatangi shalat jum’at supaya mandi
terlebih dahulu” lahir karena adanya sebab khusus, yaitu adanya jama’ah
yang kehadirannya menimbulkan gangguan berupa bau tidak sedap yang
diitimbulkannya dalam ruangan masjid yang sangat sempit, dengan menerapkan
kaidah diatas maka hadis itu berlaku pada siapa saja yang kondisinya sama dengan
pelaku peristiwa yang menyebabkan munculnya hadis tersebut. Isi hadis tersebut
tidak mengikat pada kepada mereka yang kondisinya berbeda dengan pelaku
peristiwa dan dalam suasana yang berbeda pula, hanya saja kalau perintah hadis
itu dilaksanakan, maka hukumnya lebih baik bagi yang melakukan. Jika hadis itu
dilepaskan dalam kontek asbabul wurudnya, maka disimpulkan bahwa hukum mandi
pada hari jum’at adalah wajib sebagaimana pendapat daud al-dhahiri. Pendapat
semacam ini semata-mata memahami hadis secara tekstual tanpa mempertimbangkan
konteks yang menyertainya.[4]
2.
Al-‘Ibrah bi khusus al-sababi
la bi ‘umum al-lafdzi (yang menjadi patokan dalam memahami teks adalah
sebab khusus, bukan keumuman lafad.
Contoh kaidah yang kedua yaitu Al-‘Ibrah bi khusus al-sababi la bi
‘umum al-lafdzi ,berdasarkan hadis diatas pula maka kita harus melihat pada
sebab-sebab yang mengikutinya sebagaimana telah disebutkan. Jadi, jika
menggunakan kaidah ini kewajiban mandi jum’at diatas hanya diberikan kepada
orang-orang yang mempunyai kondisi latar belakang yang sama.
Ilmu Mukhtalif
al-Hadits adalah ilmu yang membahas hadits-hadits yang menurut lahirnya
saling berlawanan, untuk menghilangkan perlawanan itu atau mengompromikan
keduanya sebagaimana halnya membahas hadits-hadits yang sukar difahami atau
diambil isinya, untuk menghilangkan kesukarannya dan menjelaskan hakikatnya.
Muhammad
‘Ajjaj al-Khathib mendefiniskan Ilmu Mukhtalîf al-Hadîs wa Musyakilihi
sebagai Ilmu yang membahas hadis-hadis yang tampaknya saling
bertentangan, lalu menghilangkan pertentangan itu, atau mengompromikannya, di
samping membahas hadis yang sulit dipahami atau dimengerti, lalu menghilangkan
kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya.[5]
Hadist yang mukhtalif menurut At-Thahawiy
adalah dua buah hadist yang sama-sama berkategori maqbul yang saling bertentangan
secara lahiriah dan memungkinkan cara penyelesaiannya dengan mengompromikannya
antara keduanya secara wajar. Mukhtaliful Hadits terbagi menjadi dua macam:
1.
Mukhtaliful Hadits yang mungkin untuk dipadukan,
Yang
mana kedua-duanya bisa diamalkan. Contohnya seperti kontradiksi antara hadits:
Hadis pertama menyatakan bahwa Rasulullah s.aw. berwudhu dengan cara
membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali,
sebagaimana tampak dalam hadits berikut ini:
حَدَّثَنَا
الْرَّبِيْعُ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا الْشَّافِعِيُّ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا عَبْدُ
الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ
يَسَارٍ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَضَّأَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ، وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ مَرَّةً مَرَّةً.
اختلاف الحديث – ج ١ ص ٦
“Ar-Rabi’ telah bercerita
kepada kami, dia berkata: Imam asy-Syafi’i memberi kabar kepada kami, Ia
berkata: Abdul Aziz ibn Muhammad telah memberi kabar kepada kami dari Zaid ibn
Aslam dari Atha’ ibn Yasar dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah s.a.w. berwudhu
membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali-satu kali.”
(H.R. asy-Syafi’i)
Sementara dalam riwayat lain dinyatakan bahwa Nabi s.a.w. berwudhu dengan
membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala tiga kali,
sebagaimana terbaca dalam hadits berikut ini:
أَخْبَرَنَا
الْشَّافِعِيُّ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ ، عَنْ هِشَامِ
بْنِ عُرْوَةَ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ ،
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ ثَلاَثًا
ثَلاَثًا.اختلاف الحديث – ج ١ ص٧
“Imam Asy-Syafi’i telah memberi
kabar kepada kami, dia berkata Sufyan ibn ‘Uyainah telah memberi kabar kepada
kami, dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya, dari Hamran maula “Utsman ibn ‘Affan
bahwa Nabi s.a.w. berwudhu dengan mengulangi tiga kali (dalam membasuh dan
mengusap).” (HR Asy-Syafi’i).
Kedua riwayat tersebut tampak bertentangan namun keduanya sama-sama shahih dan
akhirnya diselesaikan dengan metode al-Jam’u wa at-Taufîq dengan
komentar Imam asy-Syafi’i dalam kitab Ikhtilâf al- Hadîts :
قَالَ
الشَّافِعِيُّ: وَلاَ يُقَالُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذِهِ الأَحَادِيثِ: مُخْتَلِفٌ
مُطْلَقًا، وَلَكِنَّ الْفِعْلَ فِيهَا يَخْتَلِفُ مِنْ وَجْهِ أَنَّهُ مُبَاحٌ لاِخْتِلاَفِ
الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ ، وَالأَمْرِ وَالنَّهْيِ، وَلَكِنْ يُقَالُ: أَقَلُّ مَا
يَجْزِي مِنَ الْوُضُوءِ مَرَّةٌ، وَأَكْمَلُ مَا يَكُونُ مِنَ الْوُضُوءِ
ثَلاَثٌ. اختلاف الحديث – ج ١ ص٧
Dengan
terjemahan bebasnya adalah Imam asy-Syafi’i berkata: “hadits-hadits itu tidak
bisa dikatakan sebagai hadits yang benar–benar kontradiktif. Akan tetapi bisa
dikatakan bahwa berwudhu dengan membasuh wajah dan kedua tangannya, serta
mengusap kepala satu kali, sudah mencukupi, sedangkan yang lebih sempurna dalam
berwudhu adalah mengulanginya tiga kali (dalam hal membasuh wajah dan mengusap
tangan serta mengusap kepala)[6]
2.
Mukhtaliful Hadits yang tidak bisa dipadukan,
Jenis
ini ada dua macam:
a.
Ada kejelasan
Bahwa
salah satunya Nasikh (menghapuskan hadits yang pertama), dan yang lain Mansukh
(yang dihapuskan). Maka pada kondisi yang seperti ini kita mengamalkan hadits
yang Nasikh dan meninggalkan yang Mansukh, karena hadits yang Nasikh datang
lebih akhir dibandingkan hadits yang Mansukh. Namun hal ini dilakukan jika
diketahui dengan pasti bahwa hadits Nasikh datang lebih akhir dibandingkan
hadits Mansukh.
Sebagai contoh dapat dilihat dalam persoalan hukum makan daging kuda:
أَخْبَرَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ
قَالَ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ عَنْ ثَوْرِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ صَالِحِ بْنِ يَحْيَى
بْنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنْ خَالِدِ
بْنِ الْوَلِيدِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى
عَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْخَيْلِ وَالْبِغَالِ وَالْحَمِيرِ وَكُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ
السِّبَاعِ
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ وَنَصْرُ بْنُ
عَلِيٍّ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ جَابِرٍ
قَالَ أَطْعَمَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لُحُومَ الْخَيْلِ
وَنَهَانَا عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ
Dua Hadîts di atas terlihat saling bertantangan, Hadîts pertama bersisi
tentang larangan makan daging kuda yang sekaligus menjadikan ia haram. Hadîts
kedua menunjukkan kebolahan memakan daging kuda. Pertenatangan ini mesti dihilangkan
dengan cara nasakh. Hukum keharaman makan daging kuda pada Hadîts pertama telah
di-nasakh-kan oleh hukum kobolehan makan daging kuda pada Hadîts Jâbir Ibn
Abdallah yang datang setelahnya.[7]
b.
Tidak ada petunjuk
Tidak
ada petunjuk yang menunjukkan bahwa salah satu di antara kedua hadits tersebut
Nasikh dan yang lainnya Mansukh. Maka pada keadaan yang seperti ini dibutuhkan Tarjih
(menguatkan/memilih yang paling kuat di antara kedua hadits tersebut), lalu
mengamalkan hadits yang lebih kuat di antara keduanya dan yang lebih valid.
Harus
diakui bahwa ada beberapa matan (teks) hadits yang saling bertentangan. Bahkan
ada juga yang benar-benar bertentangan dengan al-Quran. Antara lain adalah
hadits tentang nasib bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup akan berada di
neraka. Sebagai contoh adalah hadits berikut ini:
الْوَائِدَةُ وَالْمَوْؤُودَةُ فِي النَّارِ
Hadits
tersebut diriwayatkan oleh imam Abu Dawud dari Ibnu Mas’ud dan Ibn Abi Hatim.
Konteks munculnya hadits tersebut (Sabab Wurûdnya) adalah bahwa
Salamah Ibn Yazid al-Ju’fi pergi bersama saudaranya menghadap Rasulullah
s.a.w.. Seraya bertanya: “Wahai Rasul sesungguhnya saya percaya Malikah itu
dahulu orang yang suka menyambung silaturrahmi, memuliakan tamu, tetapi ia
meninggal dalam keadaan jahiliyah. Apakah amal kebaikannya itu bermanfaat
baginya? Nabi menjawab: tidak. Kami berkata: dahulu ia pernah mengubur
saudaranya perempuanku hidup-hidup di zaman Jahiliyah. Apakah amal akan
kebaikannya bermanfaat baginya? Nabi menjawab: orang yang mengubur anak
perempuannya hidup-hidup dan anak yang dikuburnya berada di neraka, kecuali
jika perempuan yang menguburnya itu masuk Islam, lalu Allah memaafkannya. Demikian
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan an- Nasa’i, dan dinilai sebagai
hadis hasan secara sanad oleh Imam Ibnu Katsir.[8]
Hadits
tersebut dinilai musykil dari sisi matan dan
mukhtalif dengan al-Quran surat at-Takwîr/81: 8-9 :
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ بِأَيِّ ذَنْبٍ
قُتِلَتْ
“Dan apabila bayi–bayi perempuan yang dikubur
hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh?”
Kalau
seorang perempuan yang mengubur bayinya itu masuk ke neraka dapat dikatakan
logis, tetapi ketika sang bayi yang tidak tahu apa-apa itu juga masuk ke
neraka, masih perlu adanya tinjauan ulang. Maka dari itu, hadits tersebut harus
ditolak meskipun sanadnya hasan, dan juga karena adanya pertentangan dengan
hadits lain yang lebih kuat nilainya, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Nabi
pernah ditanya oleh paman Khansa’, anak perempuan al- Sharimiyyah: Ya Rasul,
siapa yang akan masuk surga? Beliau menjawab: Nabi Muhammad s.a.w. akan masuk
surga, orang yang mati syahid juga akan masuk surga, anak kecil juga akan masuk
surga, anak perempuan yang dikubur hidup-hidup juga akan masuk surga. (HR.
Ahmad.)
KESIMPULAN
Asbab wurud al-hadis adalah kasus yang dibicarakan oleh suatu hadis pada waktu kasus tersebut
terjadi. Kedudukan ilmu ini bagi hadis sama dengan posisi asbab al-nujul
bagi al-Qur’an al-karim. Ilmu ini merupakan suatu jalan yang paling tepat untuk
memahami hadis, karena mengetahui sesuatu sebab akan melahirkan pengetahuan
tentang mussabbab.
Dari berbagai
macam keadaan hadits yang mana nota-benenya sebagai sumber Islam yang kedua
setelah al-Quran masih dibutuhkan berbagai literatur keilmuan dalam
memahaminya. Dan dalam perjalanannya di kemudian hari sudah barang tentu akan
terus mengalami proses perkembangan dalam memahami sebuah teks hadits. Hal ini
dapat terjadi karena selama ini dalam ruang lingkup proses pemahaman hadits
juga sudah mengalami perkembangan dari zaman ketika Islam belum mengenal teori ta’wîl
(yang dalam literatur Barat sering disebut dengan hermeneutics)
sampai pada saat sekarang ini teori tersebut mulai dikembangkan dalam dunia
pemahaman sumber Islam. Dan juga tidak kalah pentingnya bahwa dalam memahami
hadits juga masih harus mempertimbangkan dari teori-teori ulama terdahulu agar
kompromi keilmuan ulama dahulu dan sekarang masih tetap terjalin dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Jumantoro,
Totok Jumantoro. 2007. Kamus Ilmu Hadits, Jakarta : PT. Bumi Aksara
Al-suyuthi, lubab
Al-nuqul fi Asbab Al-Nuzul, yang menjadi catatan pinggir dalam kitab tafsir
Abu thahir ibn Ya’qub Al-fairuz Abady, Tanwir Al-miqyas min Tafsir ibn
abbas, Beirut : Dar Al-fiqr,t.t
‘Ajjaj
al-Khathib, Muhammad. 1998. Ushûl al-Hadîts: Pokok-pokok Ilmu Hadis,
diterjemahkan oleh M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafik dari Ushûl al-Hadîts.
Jakarta: Gaya Media Pratama.
Mustaqim, Abdul.
2008. Ilmu
Ma’ânil Hadîts, Yogyakarta : Idea Press.
Badrân Abu
al-‘Ainain Badrân. 1985. Adllah al-Tasyrî’ al-Muta’âridhah wa Wujuh
al-Tarjîh bainahâ, al-Iskandariah : Muassah al-Syiariy
al-Jâmi’ah.
Shalahuddin Ibn
Ahmad al-Adhlabi. 1983. Manhaj Naqd al-Matan ‘Inda Ulamâ al-Hadîts
an-Nabawiy. Beirut : Dar al-Fikr al-Jadidah.
[3] Al-suyuthi, lubab Al-nuqul fi
Asbab Al-Nuzul, yang menjadi catatan pinggir dalam kitab tafsir Abu thahir
ibn Ya’qub Al-fairuz Abady, Tanwir Al-miqyas min Tafsir ibn abbas, (Beirut:Dar
Al-fiqr,t.t), hlm, 5.
[5] Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, Ushûl al-Hadîts:
Pokok-pokok Ilmu Hadis, diterjemahkan oleh M. Qodirun Nur dan Ahmad
Musyafik dari Ushûl al-Hadîts. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998) Cet.
ke-1, Hal. 254
[7] Badrân Abu
al-‘Ainain Badrân, Adllah al-Tasyrî’ al-Muta’âridhah wa Wujuh
al-Tarjîh bainahâ, (al-Iskandariah: Muassah al-Syiariy
al-Jâmi’ah, 1985), h. 58
[8] Shalahuddin
Ibn Ahmad al-Adhlabi, Manhaj Naqd al-Matan ‘Inda Ulamâ al-Hadîts
an-Nabawiy (Beirut: Dar al-Fikr al-Jadidah 1983), hal. 115.
0 komentar:
Posting Komentar