Pages

Jumat, 13 November 2015

ILMU MATAN HADITS



PENDAHULUAN



Hadits sebagai sumber  ajaran islam yang kedua setelah al-Quran, diakui oleh hampir seluruh umat islam, hanya kelompok kecil umat islam yang menolak hadits sebagai sumber ajaran islam yang dikenal dengan ingkar al-sunnah. Tidak diragukan lagi bahwa sunnah Rasulullah S.A.W. menempati posisi yang tinggi dalam agama islam, oleh karena selain sunnah merupakan sumber ketetapan hukum yang kedua setelah al-Quran. Sunnah juga merupakan sebuah pengetahuan baik keagamaan atau ma’rifah diniyah, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan alam gaib yang sumber satu-satunya adalah wahyu, seperti yang berkaitan dengan Allah, malaikat, kitab-kitab
  Allah, rasul-rasul Allah, syurga dan neraka, hari kiamat dan tanda-tandanya, kejadian-kejadian diakhir zaman, ataupun pengetahuan yang berkaitan dengan aspek kemanusiaan, seperti yang berkaitan dengan pendidikan, kesehatan dan perekonomian.
Umat Islam mengalami kemajuan pada zaman klasik (650-1250 M.). Dalam sejarah, puncak kemajuan ini terjadi pada sekitar tahun 650-1000 M. Pada masa ini telah hidup ulama besar, yang tidak sedikit jumlahnya, baik di bidang tafsir, hadits, fiqih, ilmu kalam, filsafat, tasawuf, sejarah maupun bidang pengetahuan lainnya. Dalam proses perkembangannya ilmu hadits mengalami beberapa kemajuan dalam tingkat kualitasnya, hal ini didukung karena adanya perkembangan pemikiran yang lahir dari para pemikir-pemikir modern yang berkecimpung dalam dunia penelitian hadits. Oleh karenanya banyak sudah kitab-kitab khusus yang membahas tentang hadits-hadits. Baik dari segi pembagiannya ataupun ilmu-ilmu yang mendukung adanya pembukuan hadits. Dan juga dalam perkembangananya hadits juga membutuhkan berbagai ilmu yang membahas tentang bagaimana caranya memahami hadits. Dalam hal ini penulis bermaksud menguraikan seputar masalah ilmu hadits yang berkaitan dengan matan.



PEMBAHASAN

A.      Pengertian Matan
Matan menurut bahasa berarti tanah yang muncul dan naik ke permukaan. Sedangkan menurut istilah matan adalah suatu kalimat tempat berakhirnya sanad.[1]
Menurut Ajjaj Al khatib matan adalah lafal hadits yang didalamnya mengandung makna-makna tertentu. Dan menurut ath Thibbi matan hadits adalah lafal hadits yang dengan itu terbentuk makna. [2]
Misal sanad dan matan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, yang berbunyi:
حدّثنا محمّد بن المثنى قال: حدّثنا عبد الوهَاب االثّقفى قال: حدّثنا ايّوب عن ابى قلابة عن انس النبى صلعم: ثلاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سَوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إلاَّ لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّار. رواه البخاري
Tiga sifat yang jika ada pada diri seseorang, ia akan meraih manisnya iman: (1) Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya. (2) Ia mencintai seseorang, tidaklah mencintainya melainkan karena Allah. (3) Ia membenci untuk kembali kepada kekafiran -setelah Allah menyelamatkannya darinya- sebagaimana ia benci apabila dilempar ke dalam api.”
Dari hadits di atas dapat kita ketahui
1.         Sanad-sanad hadits tersebut :
a.         Muhammad ibnu mutsanna
b.        Abdul wahhab ats Tsaqafi
c.         Ayyub
d.        Abi qilabah
e.         Annas Ra, hingga sampai Nabi Saw.
2.         Matan hadits dari hadits di atas ialah dimulai dari kata Tsalasun sampai an yuqdzafa fi annar.
B.       ILMU ASBAB AL-WURUD AL-HADITS
Kata asbab adalah bentuk jamak dari sabab. Menurut ahli bahasa asbab diartikan dengan al-habl(tali), yang menurut lisan Al-Arab berarti salura, yang artinya adalah “Segala sesuatu yang menghubungkan benda dengan benda lainnya”. Menurut istilah adalah segala sesuatu yang mengantar pada tujuan. Ada juga yang mendefinisikan dengan “Jalan menuju terbentuknya  suatu hukum tanpa adanya pengaruh apapun dalam hukum itu”.
Kata wurud(sampai,muncul) berarti “Air yang memancar atau yang mengalir”. Dalam pengertian yang lebih luas As-Suyuti merupakan pengertian asbab al-wurud al-hadits dengan “Sesuatu yang membatasi arti suatu hadits, baik berkaitan dengan arti umum atau khusus, mutlaq atau muqqayyat, dinasakhkan, dan seterusnya atau suatu arti yang dimaksud oleh sebuah hadits saat kemunculannya”.[3]
Dari pengertian diatas , dapat dibawa pada pengertian ilmu Asbaab Al-wurut Al-Hadits, yakni suatu ilmu yang membicarakan sebab-sebab Nabi Muhammad SAW. menuturkan sabdanya dan saat beliau menuturkannya, seperti sabda Rasulullah SAW. Tentang suci dan menyucikan air laut, yaitu “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya”. Hadits ini dituturkan oleh Rasulullah SAW. ketika seorang sahabat yang sedang berada ditengah laut mendapatkan kesulitan untuk berwudlu’. Contoh lain adalah hadits tentang niat yang dituturkan berkenaan dengan peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW. Ke Madinah. Salah seorang yang ikut hijrah karena ingin menikahi wanita yang bernama Ummu Qais. 
Urgensi asbab wurud terhadap hadits sebagai salah satu jalan untuk memahami kandungan hadits, sama halnya dengan urgensi asbab nuzul Al-Quran terhadap Al-Quran. Ini terlihat dari beberapa faedahnya, antara lain dapat mentaksis arti yang umum, membatasi arti yang mutlaq, menunjukkan perincian terhadap yang mujmal,menjelaskan kemusykilan, dan menunjukkan illat suatu hukum.
Maka dengan memahami ilmu Asbab Wurud Al-Hadits ini, makna yang dimaksud atau dikandung oleh suatu hadits dapat dipahami dengan mudah. Namun demikian, tidak semua hadits mempunyai asbab al-wurud, seperti halnya tidak semua ayat Al-Quran memiliki asbab an-nuzulnya.
Peristiwa yang melatarbelakangi munculnya hadits ada 2. Yaitu:
1.         Asbab Wurud Al-khas, yaitu peristiwa yang terjadi menjelang turunnya suatu hadits.
2.         Asbab Wurud Al’Am, yaitu semua peristiwa yang dapat dicakup hukum atau kandungannnya oleh hadis, baik peristiwa itu terjadi sebelum maupun sesudah turunnya ayat itu. Pengertian yang kedua ini dapat diperluas sehingga mencangkup kondisi sosial pada masa turunnya hadis (setting social).
Adapaun patokan kaidah yang dipakai oleh para mayoritas ulama dalam asbab wurud adalah ;
1.         Al-‘Ibrah bi ‘umum al-lafdzi la bi khusus al-sababi (yang menjadi patokan dalam memahami teks adalah keumuman lafad, bukan sebab khususnya).
Adapun contohnya yaitu Hadis tentang mandi jum’at yang berbunyi:
حَدَثَنَا عَبْدُ اْللَّه بْنِ يُوْسُفْ قَالَ : أَخْبَرَنَا مَالِكُ, عَنْ نَافِعِ عَنْ عَبْدِ اْللَّهِ بْنِ عُمَرْ رَضِيَ اْللَّهُ عَنْهُمَا : أَنَّ رَسُولَ اْللَّهِ صَلَّي اْللَّهُ عَلَيْه وَسَلَّمَ قَالَ : إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ اَلجُمْعَةَ فَلْيَغْتَسِلْ. (روه البخاري)
Sesungguhnya rasulallah SAW bersabda : “jika seseorang diantara kamu mendatangi shalat jum’at, maka hendaklah ia mandi” (H.R. Bukhari.)
Dalam memahami hadis diatas maka kita lihat dulu asbabul wurudnya. Pada jaman nabi SAW, ekonomi para sahabat pada umumnya masih dalam keada’an sulit. Mereka memakai baju wol dan bekerja diperkebunan kurma, memikul air diatas punggung mereka untuk melakukan penyiraman. Setelah bekerja diperkebunan, banyak diantara mereka yang langsung pergi ke masjid untuk melakukan shalat jum’at. Pada hari itu udara sangat panas dan nabi menyempatkan khutbah jum’at diatas mimbar yang pendek, kemudian mereka berkeringat dalam keadaan pakai pakaian wol. Bau keringat dan baju wol mereka menyebar diruangan masjid  dan jama’ah merasa terganggu. Bahkan bau mereka juga sampai menyebar kemimbar rasulallah SAW, dan kemudian nabi bersabda : “Wahai kalian manusia, jika kalian melaksanakan shalat jum’at ,hendaklah mandi terlebih dahulu dan pakai minyak wangi terbaik yang ada padanya”
Jumhurul ulama mengatakan bahwa kewajiban mandi pada hari jum’at disebabkan oleh banyak faktor, antara lain cuaca panas yang menyebabkan berkeringat, pakaian wol yang menyimpan bau, kondisi masjid yang sempit dan lain-lain. Jika jama’ah tidak mandi maka akan menimbulkan gangguan dan mengurangi ketenangan didalam masjid. Hadis itu berlaku dan wajib dilaksanakan dalam kondisi demikian.
Ketika keadaan umat islam sudah makmur, masjid-masjid sudah luas dan pakaian mereka terbuat dari kain, maka ada kelonggaran dan kemurahan untuk tidak mandi ketika hendak pergi keshalat jum’at. Sebab hal itu tidak akan menimbulkan adanya gangguan pada jama’ah. Jika diamati ,maka kelihatan jelas pendapat jumhurul ulama diatas dalam memahami hadis dengan kaidah : Al-‘Ibrah bi ‘umum al-lafdzi la bi khusus al-sababi hadis nabi SAW yang menyatakan “siapa saja yang mendatangi shalat jum’at supaya mandi terlebih dahulu” lahir  karena adanya sebab khusus, yaitu adanya jama’ah yang kehadirannya menimbulkan gangguan berupa bau tidak sedap yang diitimbulkannya dalam ruangan masjid yang sangat sempit, dengan menerapkan kaidah diatas maka hadis itu berlaku pada siapa saja yang kondisinya sama dengan pelaku peristiwa yang menyebabkan munculnya hadis tersebut. Isi hadis tersebut tidak mengikat pada kepada mereka yang kondisinya berbeda dengan pelaku peristiwa dan dalam suasana yang berbeda pula, hanya saja kalau perintah hadis itu dilaksanakan, maka hukumnya lebih baik bagi yang melakukan. Jika hadis itu dilepaskan dalam kontek asbabul wurudnya, maka disimpulkan bahwa hukum mandi pada hari jum’at adalah wajib sebagaimana pendapat daud al-dhahiri. Pendapat semacam ini semata-mata memahami hadis secara tekstual tanpa mempertimbangkan konteks yang menyertainya.[4]
2.         Al-‘Ibrah bi khusus al-sababi la bi ‘umum al-lafdzi (yang menjadi patokan dalam memahami teks adalah sebab khusus, bukan keumuman lafad.
Contoh kaidah yang kedua yaitu Al-‘Ibrah bi khusus al-sababi la bi ‘umum al-lafdzi ,berdasarkan hadis diatas pula maka kita harus melihat pada sebab-sebab yang mengikutinya sebagaimana telah disebutkan. Jadi, jika menggunakan kaidah ini kewajiban mandi jum’at diatas hanya diberikan kepada orang-orang yang mempunyai kondisi latar belakang yang sama.

C.       ILMU MUKHTALIF AL-HADITS
Ilmu Mukhtalif al-Hadits adalah ilmu yang membahas hadits-hadits yang menurut lahirnya saling berlawanan, untuk menghilangkan perlawanan itu atau mengompromikan keduanya sebagaimana halnya membahas hadits-hadits yang sukar difahami atau diambil isinya, untuk menghilangkan kesukarannya dan menjelaskan hakikatnya.
Hadist yang mukhtalif menurut At-Thahawiy adalah dua buah hadist yang sama-sama berkategori maqbul yang saling bertentangan secara lahiriah dan memungkinkan cara penyelesaiannya dengan mengompromikannya antara keduanya secara wajar. Mukhtaliful Hadits terbagi menjadi dua macam:
1.         Mukhtaliful Hadits yang mungkin untuk dipadukan,
Yang mana kedua-duanya bisa diamalkan. Contohnya seperti kontradiksi antara hadits:
Hadis pertama menyatakan bahwa Rasulullah s.aw. berwudhu dengan cara membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali, sebagaimana tampak dalam hadits berikut ini:
حَدَّثَنَا الْرَّبِيْعُ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا الْشَّافِعِيُّ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَضَّأَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ، وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ مَرَّةً مَرَّةً. اختلاف الحديث – ج ١ ص ٦
“Ar-Rabi’ telah bercerita kepada kami, dia berkata: Imam asy-Syafi’i memberi kabar kepada kami, Ia berkata: Abdul Aziz ibn Muhammad telah memberi kabar kepada kami dari Zaid ibn Aslam dari Atha’ ibn Yasar dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah s.a.w. berwudhu membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali-satu kali.” (H.R. asy-Syafi’i)
Sementara dalam riwayat lain dinyatakan bahwa Nabi s.a.w. berwudhu dengan membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala tiga kali, sebagaimana terbaca dalam hadits berikut ini:
أَخْبَرَنَا الْشَّافِعِيُّ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ ثَلاَثًا ثَلاَثًا.اختلاف الحديث – ج ١ ص٧
“Imam Asy-Syafi’i telah memberi kabar kepada kami, dia berkata Sufyan ibn ‘Uyainah telah memberi kabar kepada kami, dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya, dari Hamran maula “Utsman ibn ‘Affan bahwa Nabi s.a.w. berwudhu dengan mengulangi tiga kali (dalam membasuh dan mengusap).” (HR Asy-Syafi’i).
Kedua riwayat tersebut tampak bertentangan namun keduanya sama-sama shahih dan akhirnya diselesaikan dengan metode al-Jam’u wa at-Taufîq dengan komentar Imam asy-Syafi’i dalam kitab Ikhtilâf al- Hadîts :
قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَلاَ يُقَالُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذِهِ الأَحَادِيثِ: مُخْتَلِفٌ مُطْلَقًا، وَلَكِنَّ الْفِعْلَ فِيهَا يَخْتَلِفُ مِنْ وَجْهِ أَنَّهُ مُبَاحٌ لاِخْتِلاَفِ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ ، وَالأَمْرِ وَالنَّهْيِ، وَلَكِنْ يُقَالُ: أَقَلُّ مَا يَجْزِي مِنَ الْوُضُوءِ مَرَّةٌ، وَأَكْمَلُ مَا يَكُونُ مِنَ الْوُضُوءِ ثَلاَثٌ. اختلاف الحديث – ج ١ ص٧
Dengan terjemahan bebasnya adalah Imam asy-Syafi’i berkata: “hadits-hadits itu tidak bisa dikatakan sebagai hadits yang benar–benar kontradiktif. Akan tetapi bisa dikatakan bahwa berwudhu dengan membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali, sudah mencukupi, sedangkan yang lebih sempurna dalam berwudhu adalah mengulanginya tiga kali (dalam hal membasuh wajah dan mengusap tangan serta mengusap kepala)[6]
2.         Mukhtaliful Hadits yang tidak bisa dipadukan,
Jenis ini ada dua macam:
a.         Ada kejelasan
Bahwa salah satunya Nasikh (menghapuskan hadits yang pertama), dan yang lain Mansukh (yang dihapuskan). Maka pada kondisi yang seperti ini kita mengamalkan hadits yang Nasikh dan meninggalkan yang Mansukh, karena hadits yang Nasikh datang lebih akhir dibandingkan hadits yang Mansukh. Namun hal ini dilakukan jika diketahui dengan pasti bahwa hadits Nasikh datang lebih akhir dibandingkan hadits Mansukh.
Sebagai contoh dapat dilihat dalam persoalan hukum makan daging kuda:
أَخْبَرَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ قَالَ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ عَنْ ثَوْرِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ صَالِحِ بْنِ يَحْيَى بْنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْخَيْلِ وَالْبِغَالِ وَالْحَمِيرِ وَكُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ وَنَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ جَابِرٍ قَالَ أَطْعَمَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لُحُومَ الْخَيْلِ وَنَهَانَا عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ
Dua Hadîts di atas terlihat saling bertantangan, Hadîts pertama bersisi tentang larangan makan daging kuda yang sekaligus menjadikan ia haram. Hadîts kedua menunjukkan kebolahan memakan daging kuda. Pertenatangan ini mesti dihilangkan dengan cara nasakh. Hukum keharaman makan daging kuda pada Hadîts pertama telah di-nasakh-kan oleh hukum kobolehan makan daging kuda pada Hadîts Jâbir Ibn Abdallah yang datang setelahnya.[7]
b.        Tidak ada petunjuk
Tidak ada petunjuk yang menunjukkan bahwa salah satu di antara kedua hadits tersebut Nasikh dan yang lainnya Mansukh. Maka pada keadaan yang seperti ini dibutuhkan Tarjih (menguatkan/memilih yang paling kuat di antara kedua hadits tersebut), lalu mengamalkan hadits yang lebih kuat di antara keduanya dan yang lebih valid.
Harus diakui bahwa ada beberapa matan (teks) hadits yang saling bertentangan. Bahkan ada juga yang benar-benar bertentangan dengan al-Quran. Antara lain adalah hadits tentang nasib bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup akan berada di neraka. Sebagai contoh adalah hadits berikut ini:
الْوَائِدَةُ وَالْمَوْؤُودَةُ فِي النَّارِ
“Perempuan yang mengubur bayi hidup-hidup dan bayinya akan masuk neraka.” (HR Abu Dawud)
Hadits tersebut diriwayatkan oleh imam Abu Dawud dari Ibnu Mas’ud dan Ibn Abi Hatim. Konteks munculnya hadits tersebut (Sabab Wurûdnya) adalah bahwa Salamah Ibn Yazid al-Ju’fi pergi bersama saudaranya menghadap Rasulullah s.a.w.. Seraya bertanya: “Wahai Rasul sesungguhnya saya percaya Malikah itu dahulu orang yang suka menyambung silaturrahmi, memuliakan tamu, tetapi ia meninggal dalam keadaan jahiliyah. Apakah amal kebaikannya itu bermanfaat baginya? Nabi menjawab: tidak. Kami berkata: dahulu ia pernah mengubur saudaranya perempuanku hidup-hidup di zaman Jahiliyah. Apakah amal akan kebaikannya bermanfaat baginya? Nabi menjawab: orang yang mengubur anak perempuannya hidup-hidup dan anak yang dikuburnya berada di neraka, kecuali jika perempuan yang menguburnya itu masuk Islam, lalu Allah memaafkannya. Demikian hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan an- Nasa’i, dan dinilai sebagai hadis hasan secara sanad oleh Imam Ibnu Katsir.[8]
Hadits tersebut dinilai musykil dari sisi matan dan mukhtalif dengan al-Quran surat at-Takwîr/81: 8-9 :
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ
“Dan apabila bayi–bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh?”
Kalau seorang perempuan yang mengubur bayinya itu masuk ke neraka dapat dikatakan logis, tetapi ketika sang bayi yang tidak tahu apa-apa itu juga masuk ke neraka, masih perlu adanya tinjauan ulang. Maka dari itu, hadits tersebut harus ditolak meskipun sanadnya hasan, dan juga karena adanya pertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat nilainya, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Nabi pernah ditanya oleh paman Khansa’, anak perempuan al- Sharimiyyah: Ya Rasul, siapa yang akan masuk surga? Beliau menjawab: Nabi Muhammad s.a.w. akan masuk surga, orang yang mati syahid juga akan masuk surga, anak kecil juga akan masuk surga, anak perempuan yang dikubur hidup-hidup juga akan masuk surga. (HR. Ahmad.)



KESIMPULAN
Asbab wurud al-hadis adalah kasus yang dibicarakan oleh suatu hadis pada waktu kasus tersebut terjadi. Kedudukan ilmu ini bagi hadis sama dengan posisi asbab al-nujul bagi al-Qur’an al-karim. Ilmu ini merupakan suatu jalan yang paling tepat untuk memahami hadis, karena mengetahui sesuatu sebab akan melahirkan pengetahuan tentang mussabbab.
Dari berbagai macam keadaan hadits yang mana nota-benenya sebagai sumber Islam yang kedua setelah al-Quran masih dibutuhkan berbagai literatur keilmuan dalam memahaminya. Dan dalam perjalanannya di kemudian hari sudah barang tentu akan terus mengalami proses perkembangan dalam memahami sebuah teks hadits. Hal ini dapat terjadi karena selama ini dalam ruang lingkup proses pemahaman hadits juga sudah mengalami perkembangan dari zaman ketika Islam belum mengenal teori ta’wîl (yang dalam literatur Barat sering disebut dengan hermeneutics) sampai pada saat sekarang ini teori tersebut mulai dikembangkan dalam dunia pemahaman sumber Islam. Dan juga tidak kalah pentingnya bahwa dalam memahami hadits juga masih harus mempertimbangkan dari teori-teori ulama terdahulu agar kompromi keilmuan ulama dahulu dan sekarang masih tetap terjalin dengan baik.








DAFTAR PUSTAKA

Jumantoro, Totok Jumantoro. 2007. Kamus Ilmu Hadits, Jakarta : PT. Bumi Aksara
Al-suyuthi, lubab Al-nuqul fi Asbab Al-Nuzul, yang menjadi catatan pinggir dalam kitab tafsir Abu thahir ibn Ya’qub Al-fairuz Abady, Tanwir Al-miqyas min Tafsir ibn abbas, Beirut : Dar Al-fiqr,t.t
‘Ajjaj al-Khathib, Muhammad. 1998. Ushûl al-Hadîts: Pokok-pokok Ilmu Hadis, diterjemahkan oleh M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafik dari Ushûl al-Hadîts. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Mustaqim, Abdul. 2008. Ilmu Ma’ânil Hadîts, Yogyakarta : Idea Press.
Badrân Abu al-‘Ainain Badrân. 1985. Adllah al-Tasyrî’ al-Muta’âridhah wa Wujuh al-Tarjîh bainahâ, al-Iskandariah : Muassah al-Syiariy al-Jâmi’ah.
Shalahuddin Ibn Ahmad al-Adhlabi. 1983. Manhaj Naqd al-Matan ‘Inda Ulamâ al-Hadîts an-Nabawiy. Beirut : Dar al-Fikr al-Jadidah.



    


[1]Drs. Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadits, Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2007. hlm. 220., hlm. 16
[2]Ibid., hlm. 122
[3] Al-suyuthi, lubab Al-nuqul fi Asbab Al-Nuzul, yang menjadi catatan pinggir dalam kitab tafsir Abu thahir ibn Ya’qub Al-fairuz Abady, Tanwir Al-miqyas min Tafsir ibn abbas, (Beirut:Dar Al-fiqr,t.t), hlm, 5.
[4] Ibid, Hlm 137-138
[5] Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, Ushûl al-Hadîts: Pokok-pokok Ilmu Hadis, diterjemahkan oleh M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafik dari Ushûl al-Hadîts. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998) Cet. ke-1, Hal. 254
[6] Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ânil Hadîts (Yogyakarta : Idea Press, 2008). hal. 88-90.
[7] Badrân Abu al-‘Ainain Badrân, Adllah al-Tasyrî’ al-Muta’âridhah wa Wujuh al-Tarjîh bainahâ, (al-Iskandariah: Muassah al-Syiariy al-Jâmi’ah, 1985), h. 58
[8] Shalahuddin Ibn Ahmad al-Adhlabi, Manhaj Naqd al-Matan ‘Inda Ulamâ al-Hadîts an-Nabawiy (Beirut: Dar al-Fikr al-Jadidah 1983), hal. 115.

0 komentar:

Posting Komentar