Pages

Jumat, 13 November 2015

PENGELOLAAN PENDIDIKAN DASAR ISLAM



PENDAHULUAN

Madrasah sebagai bagian dari penyelenggara pendidikan nasional saat ini dituntut untuk mampu melakukan penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan standar nasional pendidikan yang dirumuskan oleh Pemerintah. Standarisasi yang dimaksud meliputi standar pendidik tenaga kependidikan, standar proses, standar sarana prasarana, standar pembiayaan, standar sarana prasarana, standar pengelolaan, standar kompetensi lulusan, dan standar penilaian.
Dengan melakukan proses standarisasi penyelenggaraan pendidikan ini diharapkan madrasah mampu bersaing dengan sekolah umum khususnya dalam penyelenggaraan pendidikan umum. Apalagi dalam proses pengelolaan pendidikan, pemerintah telah mendorong adanya otonomi pendidikan. Dengan demikian madrasah bisa lebih leluasa dalam melakukan proses manajemen sekolah yang mengarah pada peningkatan mutu madrasah.








PEMBAHASAN
A.      Pengelolaan Pendidikan
Pengelolaan berasal dari kata manajemen, sedangkan istilah manajemen sama artinya dengan administrasi (Oteng Sutisna:1983). Dapat diartikan pengelolaan pendidikan sebagai upaya untuk menerapkan kaidah-kaidah administrasi dalam bidang pendidikan. Pengelolaan meliputi kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengawasan dan pengembangan.
Pengelolaan pendidikan adalah suatu usaha bersama yang dilakukan untuk mendayagunakan semua sumber daya baik manusia, uang, bahan dan peralatan serta metode untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien (Purwanto, 1981:14).
Pengelolaan pendidikan adalah suatu penataan bidang garapan pendidikan yang dilakukan melalui aktivitas perencanaan, pengorganisasian, penyusunan staf, pembinaan, pengkoordinasian, pengkomunikasian, pemotivasian, penganggaran, pengendalian, pengawasan, penilaian, dan pelaporan secara sistematis untuk mecapai tujuan pendidikan secara berkualitas (Engkoswara, 2010:89).
Adapun ruang lingkup atau obyek dari pengelolaan pendidikan itu membahas tentang:
1.         Tata laksana sekolah
2.         Personel guru dan pegawai sekolah
3.         Siswa
4.         Supervisi pengajaran
5.         Pelaksanaan dan pembinaan kurikulum
6.         Pendirian dan perencanaan sekolah
7.         Hubungan sekolah dengan masyarakat



B.       Isu-isu Seputar Pengelolaan Pendidikan
1.      Paradigma Baru Pengelolaan Pendidikan di Indonesia
Dari sentralisasi ke desentralisasi menjadi salah satu isu sentral paradigma manajerial keorganisasian kontemporer, baik disektor pemerintahan, bisnis maupun institusi pendidikan. Realitas sejarah membuktikan bahwa pemerintah dengan format sentralisasi manajemen untuk sebagian besar kasus mengalami kebangkrutan (Sudarrwan Danim, 2007:4).
Oleh karena itu seiring dengan bergulirnya reformasi, perubahan paradigm dari sentralisasi menuju desentralisasi pun turut bergulir. Wujud nyata dari perubahan itu adalah lahirnya dua undang-undang yaitu UU nomor 22 tahun 1999 dan UU nomor 25 tahun 1999. Diundangkannya UU nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah pada hakikatnya memberi kewenangan dan keleluasaan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan diberikan kepada daerah kabupaten dan kota berdasarkan asas desentralisasi dalam wujud otonomi luas, nyata, dan bertanggungjawab (Mulyasa, 2004:5).
Munculnya undang-undang tersebut telah membawa perubahan dalam berbagai bidang kehidupan termasuk di dalamnya pendidikan. Bila sebelumnya manajemen pendidikan merupakan wewenang pusat, dengan berlakunya undang-undang tersebut dialihkan ke pemerintah kota dan kabupaten. Dalam pelaksanaannya, baik dari segi kewenangan maupun sumber dana pendidikan, pemerintah daerah kabupaten dan kota akan memegang peranan yang sangat penting.
Desentralisasi pendidikan tidak hanya pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke daerah tetapi juga ke sekolah sebagai institusi penyelenggara pendidikan. Desentralisasi pendidikan disekolah ini kemudian disebut dengan istilah MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) yaitu pardigma manajemen sekolah yang berbasis pada potensi internal sekolah itu sendiri (Nurkholis, 2003:1).
Pengukuhan MBS sebagai paradigma baru dalam manajerial pendidikan di Indonesia dikukuhkan melalui UU nomor 20 tahun 2003, dimana pada pasal 51 ayat 1 menyebutkan bahwa pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilakanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah. Dengan demikian MBS tidak lagi sebagai sebuah wacana tetapi sudah menjadi paradigm dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia.
Menurut Mulyasa, MBS adalah suatu ide tentang pengambilan keputusan pendidikan yang diletakkan pada posisi yang paling dekat dengan pembelajaran yaitu sekolah (Mulyasa, 2004:33).
Sedangkan Sudarwan Danim mendefinisikan MBS sebagai proses kerja komunitas sekolah dengan cara menerapkan kaidah-kaidah otonomi, akuntabilitas, dan partisipasi untuk mencapai tujuan pendidikan dan pembelajaran secara bermutu (Sudarwan denim, 2007:34).
Menurut Nurcholis ada beberapa alasan yang menjadi alasan pemilihan MBS sebagai model manajemen pendidikan di Indonesia. Pertama, sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bagi dirinya sehingga sekolah dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia untuk memajukan sekolahnya. Kedua, sekolah lebih mengetahui kebutuhannya. Ketiga, keterlibatan warga sekolah dan masyarakat dalam pengemabilan keputusan dapat menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat (Nurkholis, 2003:21).
Disamping itu ada juga alasan lain yang juga memperkuat perlunya penggunaan MBS dalam pengelolaan pendidikan yaitu bahwa konsep MBS terbukti telah berhasil diterapkan di negara-negara maju (Husaini Usman, 2006: 497).
Alasan-alasan tersebut tepat mengingat salah satu karakteristik MBS adalah meberikan otonomi luas kepada sekolah untuk mengoptimalkan kinerjanya. Disamping itu MBS juga memiliki karaktersitik memberikan partisipasi masyarakat dan orang tua sehingga masyarakat dan orang tua sebagai user mempunyai peranan penting dalam mengembangkan sekolah/madrasah. Karakteristik lain dari MBS yaitu kepemimpinan yang demokratis dan professional dan team work yang kompak dan transparan. Pemaduan antara kepemimpinan  yang demokratis dan team work yang kompak dan transparan akan mendorong optimalisasi kinerja sekolah/madrasah.
Secara umum manfaat yang dapat diperoleh dalam melaksanakan MBS adalah sebagai berikut (Dadang Dally, 2010:19-20):
a.       Sekolah dapat mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk memajukan sekolahnya, karena bisa lebih mengetahui peta kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang mungkin dihadapi
b.      Sekolah lebih mengetahui kebutuhan lembaganya khususnya input dan output pendidikan yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik;
c.       Pengambilan keputusan partisipatif yang dilakukan dapat memenuhi kebutuhan sekolah karena sekolah lebih tahu apa yang terbaik bagi sekolahnya;
d.      Penggunaan sumber daya pendidikan lebih efesien dan efektif apabila masyarakat turut serta mengawasi;
e.       Keterlibatan warga sekolah dalam pengambilan keputusan sekolah menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat;
f.       Sekolah bertanggungjawab tentang mutu pendidikan di sekolahnya kepada pemerintah, orang tua, peserta didik dan masyarakat
g.      Sekolah dapat bersaing dengan sehat untuk meningkatkan mutu pendidikan;
h.      Sekolah dapat merespon aspirasi masyarakat yang berubah dengan pendekatan yang tepat dan cepat.
Inilah paradigma baru manajemen pendidikan di Indonesia. Manajemen yang memberikan kewenagan seluas-luasnya kepada sekolah/madrasah untuk mengelola pendidikan secara mandiri dalam rangka mengembangkan mutu pembelajaran sesuai potensi yang dimiliki.
2.      Isu Pengawasan Pendidikan di Sekolah.
Pengawasan pendidikan di sekolah harus memberikan dampak yang dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan organisasi sekolah. Dalam pendidikan di sekolah pengawasan dipakai dalam dua arti. Pertama pengawasan meliputi kegiatan mengarahkan dan membimbing, mempertimbangkan, dan menilai. Perhatiannya berpusat pada pelaksanaan-pelaksanaan dan hasil-hasilnya. Kegiatan pengawasan semacam ini dipikirkan terutama sebagai proses penerapan kekuasaan melalui alat dan teknik pengawasan untuk menetapkan apakah rencana-rencana, kebijaksanaan-kebijaksanaan, instruksi-instruksi, dan prosedur-prosedur yang ditetapkan diikuti (Oteng Sutsina, 1986).
Kedua, pengawasan yang menyediakan kondisi yang perlu untuk menyelesaikan tugas kewajiban dengan efektif dan efisien. Pengawasan dalam pengertian ini hendak menjamin keselarasan, kecerdasan, dan ekonomi pada semua upaya pendidikan. Pengawasan bisa digunakan tidak hanya untuk mencegah salah, melainkan juga mengarahkan tindakan-tindakan pada tujuan organisasi sekolah.
Berdasarkan konsep tersebut, pelaksanaan pengawasan di sekolah harus mencakup pengendalian yang bersifat administrative dan akademik atau proses pengajaran. Tetapi dalam prakteknya pelaksanaan pendidikan yang selama ini diterapkan cenderung hanya menyangkut aspek material saja seperti pemeriksaan keuangan, fasilitas, tata usaha kantor, sedangkan pengamatan dan pengendalian terhadap proses belajar mengajar sering kali luput dari perhatian. Bahkan pengawasan terhadap keseluruhan aspek dari fungsi manajemen pun tetap belum terlaksana.
Pengawasan tampaknya masih terkotak-kotak dan masih belum membentuk sistem yang mudah yang dapat merupakan instrumen untuk menjaga kelancaran proses manajemen pendidikan di sekolah. Pengawas di lembaga pendidikan selama ini lebih menonjolkan segi fisik, seperti pengelolaan dana, alat, bangunan, dan pegawai. Yang kurang mendapat perhatian, padahal merupakan sasaran yang amat penting, adalah pengawasan terhadap penyelenggaraan proses belajar mengajar yang berlangsung di sekolah (Djam’an Satori, 1990).
Perhatian terhadap sekolah hendaknya ditunjukan untuk mengkaji kesulitan-kesulitan teknis edukatif yang dihadapi guru-guru, bukan mengkaji hal-hal yang berurusan dengan teknis formal semata. Kondisi birokrasi yang sentralistis, otoriter dan menghadapi persoalan multikompleks, juga tentunya mempersulit terlaksananya pengawasan secara efektif (Waluyo Rodam, 1989).
3.      Pembiayaan Pendidikan
Pendidikan dalam operasionalnya tidak dapat lepas dari masalah biaya. Biaya pendidikan yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan pendidikan tidak terlihat secara nyata. Oleh karena itu, dana yang dikeluarkan oleh pemerintah atau masyarakat maupun orang tua untuk menghasilkan pendidikan dianggap sebagai investasi, maksudnya adalah di masa yang akan datang harus dapat menghasilkan keuntungan atau manfaat, baik dalam bentuk uang atau pengetahuan.
Biaya pendidikan terdiri dari biaya-biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pelaksanaan pendidikan, sarana/prasarana, biaya transportasi, gaji guru, baik yang dikeluarkan oleh pemerintah, orang tua atau siswa sendiri. Anggaran pendidikan terdiri dari dua sisi, yaitu anggaran penerimaan dan pengeluaran untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan. Anggaran penerimaan yaitu pendapatan yang diperoleh oleh sekolah dari berbagai sumber resmi dan diterima secara teratur. Misalnya dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat sekitar, orang tua murid dan sumber lain. Sedangkan anggaran pengeluaran adalah jumlah dana yang dibelanjakan untuk kepentingan pelaksanaan pendidikan di sekolah misalnya alat belajar, pengeluaran TU, sarana/prasarana sekolah, kesejahteraan pegawai, administrasi, pembinaan teknis educative dan pendataan. Perhitungan biaya harus diatur menurut jenis dan volumenya dan harus diadakan analisis biaya yang dimaksudkan untuk membantu para pengambil keputusan dalam menentukan diantara alternatif alokasi sumber-sumber pendidikan yang terbatas tapi memberikan keuntungan tinggi. Pembiayaan itu meliputi tiga hal, yaitu: 1. Budgeting (penyusunan anggaran), Penyusunan anggaran ini meliputi: Rencana Anggaran dan Pendapatan Belanja Nagara serta Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Sekolah. 2. Accounting (pembukuan), kegiatan pembukuan ini disebut pengurusan keuangan yang meliputi: kewenangan menentukan kebijakan menerima atau mengeluarkan uang dan tindak lanjutnya. 3. Auditing (pemeriksaan), yang dimaksud penerimaan disini adalah pemeriksaan semua kegiatan dari mulai penerimaan dan pertanggungjawaban pengeluaran.
a.       Konsep Pendidikan Gratis
Harapan masyarakat akan datangnya pendidikan gratis telah ditunggu-tunggu seiring datangnya Isu pendidikan gratis untuk Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Pendidikan gratis ini memang sangat ditunggu-tunggu, pasalnya Pemerintah mengeluarkan dana BOS (Biaya Operasional Sekolah) untuk menutupi harga-harga buku yang semakin melambung, sumbangan-sumbangan, gaji guru yang tidak cukup dan biaya-biaya lainnya.
Dilihat dari perkembangannya, fenomena ini tidak lepas dari pro dan kontra. Bagi yang pro, dengan program-program itu mengatakan bahwa itu adalah upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan dan penurunan angka anak putus sekolah, sekolah gratis bagi orangtua bisa mengurangi beban pikirannya untuk masalah biaya pendidikan dan tidak ada lagi anak-anak yang tidak boleh ikut ujian hanya karena belum membayar iuran sekolah. Sedangkan yang kontra adanya rasa kurang untuk sekolah, kesadaran akan pendidikan sangat kurang, anak lebih mementingkan pekerjaan dari pada harus sekolah yang tidak mengeluarkan apa-apa. Biaya pendidikan gratis hanya sampai dengan Sekolah Menengah Pertama sedangkan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas tidak. Sedangkan tamatan Sekolah Lanjutan Tingkat Ataslah yang merupakan tombak utama dan usia yang mapan untuk mencari pekerjaan serta penghasil devisa negara.
Sekolah menjadi bermutu karena ditopang oleh peserta didik yang memiliki semangat belajar. Mereka mau belajar apabila ada tantangan, salah satunya tantangan biaya. Pemerintah mengalami kesulitan menciptakan kondisi agar setiap orangtua mendapat penghasilan yang cukup sehingga mampu membiayai pendidikan anak-anaknya.
Tidak hanya murid saja melainkan guru yang terkena imbas dari pendidikan gratis ini. Kebanyakan dari guru sekolah gratis mengalami keterbatasan mengembangkan diri dan akhirnya akan kesulitan memotivasi peserta didik.
Sekolah, terutama sekolah swasta kecil, akan kesulitan menutup biaya operasional sekolah, apalagi mensejahterakan gurunya. Pembiayaan seperti listrik, air, perawatan gedung, komputer, alat tulis kantor, transpor, uang makan, dan biaya lain harus dibayar. Sekolah masih bertahan hanya berlandaskan semangat pengabdian pengelolanya. Tanpa iuran dari peserta didik, bagaimana akan menutup pembiayaan itu.
Pemberlakuan sekolah gratis bukan berarti penurunan kualitas pendidikan, penurunan minat belajar para siswa, dan penurunan tingkat kinerja guru dalam kegiatan belajar mengajar di dunia pendidikan. Untuk itu bukan hanya siswa saja yang diringankan dalam hal biaya, namun kini para guru juga akan merasa lega dengan kebijakan pemerintah tentang kenaikan akan kesejahteraan guru. Tahun 2011 ini pemerintah telah memenuhi ketentuan UUD 1945 pasal 31 tentang alokasi APBN untuk pendidikan sebesar 20%. Sehingga tersedianya anggaran untuk menaikkan pendapatan guru, terutama guru pegawai negeri sipil (PNS) berpangkat rendah yang belum berkeluarga dengan masa kerja 0 tahun, sekurang-kurangnya berpendapatan Rp. 2 juta.
Dari dana BOS yang diterima sekolah wajib menggunakan dana tersebut untuk pembiayaan seluruh kegiatan dalam rangka penerimaan siswa baru, sumbangan pembiayaan pendidikan (SPP), pembelian buku teks pelajaran, biaya ulangan harian dan ujian, serta biaya perawatan operasional sekolah.
Sedangkan biaya yang tidak menjadi prioritas sekolah dan memiliki biaya besar, seperti: study tour (karyawisata), studi banding, pembelian seragam bagi siswa dan guru untuk kepentingan pribadi (bukan inventaris sekolah), serta pembelian bahan atau peralatan yang tidak mendukung kegiatan sekolah, semuanya tidak ditanggung biaya BOS. Dan pemungutan biaya tersebut juga akan tergantung dengan kebijakan tiap-tiap sekolah, serta tentunya pemerintah akan terus mengawasi dan menjamin agar biaya-biaya tersebut tidak memberatkan para siswa dan orangtua.
Melihat kondisi di atas, semua itu adalah usaha pemerintah untuk mensejahterahkan rakyatnya dalam hal ekonomi dan pendidikan, tapi alangkah baiknya tidak memberlakukan sekolah gratis melainkan sekolah murah, dan program bea siswa. Mengapa sekolah harus murah. Diantaranya; sekolah murah adalah harapan semua orang, tidak hanya para murid dan orangtuanya, namun juga para guru selagi kesejahteraannya mendapatkan jaminan dari pemerintah. Sekolah murah dalam banyak hal bisa menyenangkan, tanpa dibebani tanggungan biaya sekolah sang anak yang mahal, orangtua dapat tenang menyekolahkan anaknya dan urusan pencarian dana untuk memenuhi kebutuhan keluarga lebih dikosentrasikan kepada kebutuhan sandang, pangan, papan dan kesehatan. Sang anak pun bisa tenang melakukan aktivitas pendidikan, sebab tidak lagi merasa menjadi beban bagi orangtua.
Bagaimana peserta didik dapat belajar dengan baik jika konsentrasinya harus terbagi memikirkan dana sekolahnya yang belum terlunasi orangtuanya. Ataupun waktu di luar sekolahnya harus terbagi untuk membantu orangtuanya mencari tambahan penghasilan.
Adanya sekolah murah yang dana aktivitas pendidikannya terbanyak atau sepenuhnya ditanggung pemerintah, bisa menumbuhkan kepercayaan masyarakat akan peran dan keberadaan pemerintah. Kebijakan-kebijakan pemerintah akan segera didengar dan dipatuhi masyarakat selagi masyarakat benar-benar merasa pemerintah berada di pihak mereka dan berusaha menyejahterahkan masyarakatnya.
4.      Penempatan dan Mutasi Guru
Pengangkatan dan Penempatan guru merupakan topik yang selalu hangat untuk dibicarakan. Ada anggapan dalam masyarakat bahwa siapapun bisa menjadi guru. Meski anggapan ini kurang tepat, namun jika dilihat kenyataan di lapangan masih banyak sekolah yang merekrut guru yang tidak memiliki latar belakang pendidikan bidang keguruan, lulusan SMA/SMK menjadi guru di SD/SMP atau bahkan di SMA/SMK itu sendiri. Tidak jarang pula mahasiswa/mahasiswi Drop-Out (DO) yang pulang ke daerah kemudian menjadi guru. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor antara lain; minimnya sumber daya manusia pendidikan terutama di pedesaan, dan penyebaran guru yang tidak merata, di satu sekolah jumlah guru sangat berlebihan sementara di sekolah lain jumlah guru sangat kekurangan. Kebanyakan guru hanya menumpuk di wilayah perkotaan atau wilayah yang dekat dengan perkotaan. Pimpinan sekolah di daerah pedesaan yang jumlah guru nya sangat kekurangan terpaksa harus merekrut guru yang tidak memiliki latar belakang pendidikan di bidang keguruan. Oleh karena itu pemerintah perlu melakukan pengangkatan guru, melakukan redistribusi guru dan reformasi guru demi meningkatkan mutu pendidikan serta demi untuk kepentingan guru itu sendiri (Fitriyanto, 2009).
Reformasi guru dimulai dari deklarasi Presiden RI tanggal 14 desember 2004 yang menyatakan bahwa guru adalah bidang pekerjaan profesional. Ini berarti bahwa bidang pekerjaan guru sama dengan pekerja profesional yang lain, misalnya; pengacara, dokter, konsultan publik, apoteker, akuntan publik, dan sebagainya. Oleh karena itu, seorang guru juga dituntut untuk profesional. Menurut Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, salah satu kriteria profesional seorang guru harus memiliki jam wajib mengajar tatap muka minimal 24 jam per minggu disamping kriteria-kriteria lain yang harus dimiliki misalnya; kompetensi akademik, kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, kompetensi kepribadian dan sebagainya.
Mutasi sangat diperlukan agar seorang pejabat tidak merasa bosan atau mengalami kejenuhan dalam melaksanakan tugas jabatannya. Beberapa ahli berpendapat bahwa kegairahan dan semangat kerja seorang dalam memangku jabatan atau pekerjaan dapat mencapai titik jenuhnya antara tahun ke dua dan ke lima dari masa jabatannya, sehingga banyak jabatan dalam pemerintahan maupun instansi swasta ditentukan masa jabatannya antara 2 – 5 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa suatu jabatan yang lebih dari lima tahun akan menimbulkan kebosanan bagi si pemegang jabatan, sehingga dapat menimbulkan kemerosotan dan mengurangi kinerja pejabat tersebut. Oleh karena itu, mutasi guru atau pegawai lainnya jika dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja atau memperbaiki lembaga organisasi sangat diperlukan, akan tetapi pada era otonomi daerah sekarang ini penempatan dan mutasi pegawai lebih cenderung kepada kepentingan politik pemegang kekuasaan pemerintahan di daerah tingkat kabupaten dan kota.


KESIMPULAN

Dari  uraian  di atas dapat disimpulkan bahwa pengelolaan pendidikan mencakup bidang-bidang garapan yang sangat luas, seperti administrasi personal, administrasi kurikulum, kepemimpinan, kepengawasan, atu supervise pendidikan administrasi bisnis pendidikan, organisasi lembaga pendidikan, dan sebagainya.
Semua pengelolaan dasar dalam pendidikan dasar ini saling berkaitan dan berpengaruh bukan hanya dalam pembentukan sekolah dasar tapi juga dalam kegiatan yang dilakukan sekolah sehari-hari sehingga dapat menciptakan sekolah dasar yang baik dan berkualitas.
Dalam proses pengelolaan pendidikan, pemerintah telah mendorong adanya otonomi pendidikan. Dengan demikian madrasah bisa lebih leluasa dalam melakukan proses manajemen sekolah yang mengarah pada peningkatan mutu madrasah. Kebijakan pemerintah tersebut menjadikan pendidikan di Indonesia mengalami perubahan dalam pengelolaannya. Salah satunya telah terjadi perubahan paradigm dalam pengelolaan pendidikan yang semuala sentralistik menjadi desentralistik. Bahkan sekolah/madrasah juga diberikan otonomi untuk melakukan pengelolaan pendidikan secara mandiri dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah.








DAFTAR PUSTAKA
Purwanto, Ngalim. 1987. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Engkoswara dan Komariah, Aan. 2010. Administrasi Pendidikan. Bandung: Alfabeta
Mulyasa. E. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sutisna, Oteng. 1985. Administrasi Pendidikan. Bandung: Angkasa.
Danim, Sudarrwan. 2007. Visi Baru Manajemen Sekolah: Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik . Jakarta: Bumi Aksara.
Mulyasa. 2004. Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mulyasa. 2005. Menjadi Kepala Sekolah Profesional : Dalam Konteks Menyukseskan MBS dan KBK. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nurkholis. 2003.  Manajemen Berbasis Sekolah: Teori, Model dan Aplikasi. Jakarta: Grasindo.
Husaini, Usman. 2006. Manajemen : Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Dally, Dadang. 2010. Balanced Score Card : Suatu Pendekatan dalam Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Fitriyanto. 2009. Antara Guru, Sertifikasi, dan Profesionalisme (Artikel Ilmiah Populer). Lubuklinggau: Linggau Post.



1 komentar: